Graduasi yang Menyisakan Pengandaian Tiada Akhir
Gemuruh Erupsi Gunung Kelud di ujung timur kabupaten Kediri (14 Februari 2014) yang lalu tak terasakan oleh kawan - kawan Pendamping PKH di
Hotel Lotus Garden, Kediri, dimana perjalanan proses Graduasi dimulai. Pada saat peristiwa alam fenomenal itu, Pendamping PKH kohort 2007 sedang mengikuti pelatihan teknik
penyampaian hasil resertifikasi dengan penuh semangat dan seksama. Sampai-sampai
trainer pada saat itu ingin mengajak teman-teman pendamping PKH Kediri ke Kab.
Jombang sebagai aktor simulasi dalam penyampaian hasil Resertifikasi. Sungguh
melegakan, karena ini bisa menjadi bahan klarifikasi, bahwa teman-teman
Pendamping PKH kohort 2007 betul-betul mengikuti pelatihan dengan penuh
kesungguhan dan tanggung jawab. Pelatihan yang begitu mengesankan.
Ya, benar. Pelatihan di Hotel yang
bertarif rata-rata Rp 275.000/malam itu memang pelatihan penyampaian hasil
resertifikasi, karena sebelum itu ada pelatihan husus, yaitu pelatihan teknik
Resertifikasi yang sudah rampung dilaksanakan di Hotel Bukit Daun beberapa
Bulan sebelumnya. Resertifikasi adalah penilaian ulang terhadap kepesertaan
anggota PKH yang dilaksanakan pada tahun ke-5 dari masa kepesertaanya. Resertifikasi
ini-- tentunya dengan mendasarkan pada ukuran-ukuran tertentu hasil racikan
BPS- akan menghasilkan dua kategori keanggotaan PKH. Pertama, anggota
PKH katagori Transisi dan kedua katagori Graduasi.
KSM katagori transisi adalah mereka
yang masih berlanjut status kepesertaanya menjadi anggota PKH dan masih berhak
menerima bantuan beserta program-program lain yang disebut program
komplementaritas. “matur suwun Pak jaenal, kulo taksih njenengan lebokne
PKH”, dengan tergopoh-gopoh bu Poniyem menyampaikan perasaan leganya
kepedaku setelah pertemuan penyampaian hasil resertifikasi itu selesai. Seperti
dikomando saja, teman-teman bu Poniyem yang lain mengikuti langkahnya. Satu
persatu menyalamiku dengan ucapan yang sama, “matur suwun Pak Jaenal”,
dengan wajah yang sumringah kayak pamitannya orang-orang habis tahlilan pada shohibul
baitnya. Hehehe...katagori Transisi memang melegakan.
Berbeda halnya dengan katagori
Graduasi. Katagori Graduasi adalah KSM yang dinyatakan keluar atau sudah tidak
layak lagi menjadi peserta PKH karena tidak mempunyai tanggungan atau keadaan
sosial ekonominya dinilai sudah membaik atau tidak miskin. “Pak Jaenal, kulo
kok “Gardu...Garduasi Pak”. Mungkin saking kaget atau emosinya Bu Sarwi
Endah sampai kliru dan tidak mampu
mengucapkan kata Graduasi, sampai kliru “Garduasi”. Banyak pertanyaan atau
bahkan berbau protes yang senada dengan itu disampaikan kepadaku. Saya menjawab
semua pertanyaan itu dengan sesopan dan serasional mungkin. Alhamdulillah mereka mau mengerti dan menerima
penjelasanku. “nggih mpun Pak...menawi sanes rejeki kulo, ngapunten
Pak...nek ngrepotaken...”. Namun, ada beberapa KSM masuk katagori Graduasi
yang menurutku sangat disayangkan.
Sebut saja, Samijah, ini bukan nama
samaran. KSM ini beralamat di Ds. Sonorejo Kec. Grogol, No PKH; 350622000400005. KSM yang menurutku sangat
disayangkan sekali masuk katagori Graduasi. Graduasi karena keadaan kehidupan
sosial ekonomi dinilai baik. Betapa tidak disayangkan lha wong kondisi rumahnya
seperti ini.
Rumahnya berdinding bambu (gedhek). Bentuknya
persegi empat, tanpa sekat atau kamar. Lho kok bisa. Memang itu kenyataanya.
Saat itu siang sudah mau undur jadi sore. Tepat pukul 14.15 wib saya berkunjung
ke rumahnya guna kordinasi pertemuan kelompok. Tiba-tiba dari pintu belakang
muncul anak perempuannya yang sekolah di MTsN Grogol. “Assalaamu’alaikum...”.
habis bersalaman sama saya kemudian sama maknya (ibu), dia langsung menuju sisi
dalam rumah pojok barat daya. Menarik tirai kain berwarna hijau tua
kehitam-hitaman yang sudah kena jamuran itu. Selang beberapa saat, tirai kain
yang tergantung di tali tampar itu terbuka kembali. Dia ternyata ganti baju.
masyaAllah...ternyata rumah yang tidak ada sekat untuk ruangan tertentu ini
Cuma memakai sistem tirai kain. “Tapi kok bisa ya, anaknya banyak...”.
analisa nakalku muncul begitu saja. “padahal kamarnya nggak ada, Cuma pakai
tirai kain”. Anaknya Bu Samijah ini berjumlah 7 anak. Anak mbarep sudah
berkuliah di UNM Malang, masuk program bidik misi. Anak ragilnya , yang
waktu hamil dan melahirkan tidak laporan pada saya karena malu, masih kecil
dalam gendongan. Rumah tanpa sekat.
Ya, di dalam rumah itu memang ada refrigerator (kulkas)nya.
Saat resertifikasi ada quistioner, apakah punya lemari es/kulkas, saya centang
YA, atau punya. Tapi ternyata, selang beberapa bulan saya baru tahu bahwa
lemari es tersebut mempunyai fungsi yang memperihatinkan. Difungsikan untuk
menyimpan berkas dan pakaian anaknya yang masih kecil itu. “ Bu
samijah...pundi poto copy raport, KK, KTP ne...”. pintaku padanya. Dengan langkah
sigap dia langsung menuju ke lemari es tanpa menghiraukan tatapan mata
selidiku. Membuka lemari es, mengambil berkas yang saya minta dan
menyerahkannya kepadaku. “niki pak...terah kulkase kulo damel nyimpen niki
pak...kulkas niku mpun rusak pak...kulo nggentosi saking tukang rosok...’.
bu Samijah menjelaskan dengan beruntun, sepertinya tahu apa yang tersimpan
dalam mata selidiku. MaasyaAllah... Ternyata kulkas itu sudah tidak berfungsi,
sudah beralih fungsi jadi lemari baju dan berkas-berkas yang dianggap penting.
Terlanjur quistoner saya centang “YA”, memang kenyataanya ada kulkas.
Lagi-lagi
saya centang “YA”, ketika questionernya, apakah punya motor?. Memang tidak bisa
dipungkiri KSM yang nama kepala keluarganya Sukarjito ini memiliki motor. Namun
asal tahu saja ya, motornya itu sudah dalam kondisi sangat kepayahan. Warna
hitam tidak mengkilat, di samping kanan dan kiri masih ada tulisanya, SUZUKI
FAMILY, kira-kira itu mereknya, karena nyaris separo tulisanya sudah pecah.
Slebor depan menganga kaya mulut buaya yang lagi berjemur. Lampu stopan
belakang pecah cuma tersisa dopnya saja. Lampu sen kanan kiri posisinya sudah
condong ke bawah, sebelah kanan dibalut karet ban hitam biar nggak tercecer.
Satu-satunya yang kelihatan baik itu spion sebelah kanan, masih tampak bagus,
ukuranya besar tidak ideal. Kayaknya spion itu bukan miliknya SUZUKI FAMILY. Speda
motor keluaran tahun 70 an inilah yang setia menemani Pak Sukarjito melakukan Jihad
kesehariannya, jualan penthol cilox. Kenyataan motor seperti ini membuat
saya mencentang “YA” pada waktu resertifikasi.
Pendapatan KSM ini tergolong tidak kecil, tapi menurut
perhitunganku masih kurang. Pas waktu resertifikasi, suami Bu Samijah saya
tanya tentang penghasilan. “nggih Pak...nek roto-roto penghasilan kulo
mbendintene niku Rp 50.000, niku mpun bersih bathi dodolan penthol pak...”.
wah, lumayan besar juga penghasilan orang ini, pikirku. Penghasilan sebesar itu
kalau satu bulan nyaris sama dengan gajinya Pendamping PKH, seperti saya ini.
Namun, tanggungan yang harus dihidupi oleh keluarga ini juga banyak. Sembilan
orang dalam satu rumah, itu sudah
termasuk Bu Samijah. Tanggungan yang masih sekolah saja kalau di urut; anak
pertama kuliah di UNM Malang, anak ke-2 sekolah di MAN 1 Kediri, anak ke-3 di
MTsN Grogol, anak ke-4 di MI Sonorejo, tiga anak yang terakhir masih TK dan
Balita. Di qustioner diinstruksikan untuk mengisi penghasilan bersih dalam dua
minggu terakhir. Tanpa pikir panjang, Rp 50.000x 14 hari= Rp 700.000, saya
isikan di lembar questioner. Ini termasuk kategori penghasilan yang tidak
kecil.
Selain pertanyaan-pertanyaan mengenai keadaan rumah,
tanah, barang kepemilikan, pekerjaan dan penghasilan, juga ditanya soal
pendidikan terakhir, ketrampilan yang dimiliki dan sertifikatnya. Pak Sukarjito
pendidikan terakhirnya SMA. Bu Samijah ijazah terakhirnya tingkat Madrasah
Aliyah. Seritifikat menjahit punya, ceritanya didapatkan ketika ikut pelatihan
yang diselenggarakan oleh Muslimat setempat. Di questioner tentang pendidikan
akhir dan ketrampilan yang dimiliki, saya isi sesuai pengalaman yang dimiliki
mereka berdua. Memang itu kenyaataanya. Walau ketrampilan yang dimilikinya
tidak diterapkan dalam meningkatkan penghidupannya.
Sebenarnya, saya masih menyayangkan, KSM ini kena
Graduasi. Sampai saat inipun masih penasaran penyebab pasti yang membuatnya
kena Graduasi. Bukannya karena Bu Sumijah adalah ketua Kelompok anggota PKH,
terus saya merasa bersalah, tidak. Tapi lebih karena melihat kondisi rumahnya,
tanah yang dimilikinya, kulkasnya, motor kesayangannya dan tanggungan yang
masih dimiliki oleh KSM ini. Dalam pikiranku, melihat kenyataannya, KSM ini
masih layak mendapatkan PKH. Seandainya saja saya mengisi questioner itu tidak
“Hitam di atas Putih” atau tidak tekstual mungkin bisa jadi, Bu Samijah masih
menjadi Ketua Kelompok PKH. Sebuah Pengandaian tiada akhir.
Penulis : Moh. Zaenal Luthfi
(Refleksi Pelaksanaan Graduasi Peserta PKH - 2014)
Komentar
Posting Komentar